JATIMTIMES – Politisi Partai Demokrat, Fairouz Huda berkeinginan agar keberadaan santri di Kota Malang dapat turut terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Terlebih untuk turut mengisi pembangunan dalam berbagai program dan kebijakan.
Bahkan menurut pemuda yang akrab disapa Fairouz ini, keberadaan santri di Kota Malang tak boleh diabaikan, berlalu begitu saja sebagai salah satu entitas politik. Apalagi menurutnya, Pemkot Malang juga memiliki tanggung jawab di dalamnya.
“Karena siapapun yang tinggal di Kota Malang, termasuk kalangan santri, menjadi tanggung jawab Pemkot Malang. Untuk itu santri harus dilibatkan dalam membangun Kota Malang. Khususnya membangun kultur pendidikan,” jelas Fairouz.
Baca pula Gelombang Dukungan Kak Fai Menuju Pilwali Malang Terus Bermunculan
Hal tersebut juga ia sampaikan dalam kegiatan dialog bersama santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hikam, Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Kegiatan Syawir Tematik Siyasah itu mengambil tajuk Visi Politik Kaum Santri.
Dalam kesempatan tersebut, dirinya mengatakan bahwa santri di Kota Malang sudah saatnya untuk mulai menyisihkan perhatiannya ke politik. Setidaknya, hal itu dapat dilakukan dengan membuka diri untuk dapat berkoalisi dan bersinergi bersama Pemkot Malang.
“Untuk secara perlahan menumbuhkan kultur pendidikan. Hubungan sekarang dengan Pemkot Malang terkesan ada jarak. Seolah-olah pesantren hidup sendiri dan pemerintah hidup sendiri,” jelas pria yang namanya muncul dalam bursa Pilkada Kota Malang ini.
Dirinya menilai bahwa saat ini, sinergi dan kolaborasi antara kalangan santri dan Pemkot Malang kurang begitu nampak. Padahal di sisi lain, Kota Malang yang telah berpredikat sebagai kota pendidikan, juga terdapat banyak kalangan santri yang turut menimba ilmu.
“Dan santri itu adalah aktor pendidikan. Seharusnya bisa terlibat dalam upaya menumbuhkan kultur pendidikan,” imbuhnya.
Dirinya mencontohkan, sinergi antara pemerintah dan santri salah satunya bisa diimplementasikan dalam upaya menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Seperti untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas permasalahan sampah yang terjadi saat ini.
“Jadi (misalnya) santri itu diberi kesempatan untuk menjadi relawan dalam rangka menggerakan kesadaran masyarakat atas (permasalahan) sampah. Itu bisa disinergikan,” tuturnya.
Selain itu, santri juga dapat dilibatkan dalam geliat pendidikan di luar kelembagaan. Misalnya seperti untuk memberikan pendampingan terhadap masyarakat yang buta huruf atau bahkan buta Al-Quran.
“Santri diajak untuk menanggulangi buta huruf, bagi lansia, buta Al Quran. Hal itu kan bisa terjadi pada usia dewasa. Sehingga kultur pendidikan tidak hanya di pesantren maupun di lembaga pendidikan. Selama ini hal itu masih belum dirasakan,” pungkasnya.
Berita ini telah ditebitkan di JATIM TIMES
Penulis : Riski Wijaya – Editor : Sri Kurnia Mahiruni